Selasa, 22 Februari 2011

Pengusaha Muslim Sukses Dunia dan Akherat,Mungkinkah? (2)

Memanfaatkan harta untuk meraih ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Perlu dicamkan di sini, bahwa ayat-ayat al-Qur-an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berisi celaan terhadap harta dan dunia, bukanlah memaksudkan bahwa celaan terhadap zat harta dan dunia itu sendiri, tetapi maksudnya adalah kecintaan yang berlebihan terhadapnya sehingga melalaikan manusia dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tidak menunaikan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala padanya,[Lihat: kitab Tafsir Al-Qurthubi: 18/142 dan Aisarut Tafasir: 4/271] sebagaimana firman-Nya,
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS. At-Taubah: 34)

Imam Ibnu Muflih Al-Maqdisi berkata, “Dunia (harta) tidaklah dilarang (dicela) pada zatnya, tetapi karena (dikhawatirkan) harta itu menghalangi (manusia) untuk mencapai (ridha) Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana kemiskinan tidaklah dituntut (dipuji) pada zatnya, tetapi karena kemiskinan itu (umumnya) tidak menghalangi dan menyibukkan (manusia) dari (beribadah kepada) Allah. Betapa banyak orang kaya yang kekayaannya tidak menyibukkannya dari (beribadah kepada) Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti Nabi Sulaiman ‘alaihis salam. Demikian pula (sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) ‘Utsman (bin ‘Affan) radhiyallahu ‘anhu dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu. Serta, betapa banyak orang miskin yang kemiskinannya (justru) melalaikannya dari beribadah kepada Allah dan memalingkannya dari kecintaan serta kedekatan kepada-Nya…” [Kitab Al-Adabusy Syar'iyyah: 3/469]
Bahkan, banyak ayat Al-Quran dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berisi pujian terhadap orang yang memiliki harta dan menggunakannya untuk mencapai ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala, di antaranya:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual-beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari (pembalasan), yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nur: 37)
Imam Ibnu Katsir berkata, “Mereka adalah orang-orang yang tidak disibukkan/dilalaikan oleh harta benda dan perhiasan dunia, serta kesenangan berjual-beli (berbisnis) dan meraih keuntungan (besar) dari mengingat (beribadah) kepada Rabb mereka (Allah Subhanahu wa Ta’ala) Yang Maha Menciptakan dan Melimpahkan rezeki kepada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang mengetahui (meyakini) bahwa (balasan kebaikan) di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah lebih baik dan lebih utama daripada harta benda yang ada di tangan mereka, karena sesuatu yang ada di tangan mereka akan habis/musnah sedangkan balasan di sisi Allah adalah kekal abadi.” [Kitab Tafsir Ibnu Katsir: 3/390]
Imam Al-Qurthubi berkata, “Dianjurkan bagi seorang pedagang (pengusaha) untuk tidak disibukkan/dilalaikan dengan perniagaan (usaha)nya dari menunaikan kewajiban-kewajibannya. Oleh karenanya, ketika tiba waktu shalat fardhu, hendaknya dia (segera) meninggalkan perniagaannya (untuk menunaikan shalat), agar dia termasuk ke dalam golongan orang-orang (yang dipuji Allah Subhanahu wa Ta’ala) dalam ayat ini.” [Kitab Tafsir Al-Qurthubi: 5/156]
2. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada hasad/iri [maksudnya adalah ”al-gibthah” yaitu mengharapkan nikmat yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada orang lain tanpa hilangnya nikmat tersebut dari diri orang itu; lihat: kitab Syarhu shahiihi Muslim: 6/97] (yang terpuji) kecuali kepada dua orang: (yang pertama adalah) orang yang Allah anugerahkan kepadanya harta lalu dia menginfakkan hartanya di (jalan) yang benar (di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala), dan (yang kedua adalah) orang yang Allah anugerahkan kepadanya ilmu lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya (kepada orang lain).” [Hadits shahih riwayat Al-Bukhari (no. 73) dan Muslim (no. 816)]
3. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Ibuku (Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha) pernah berkata, ‘(Wahai Rasulullah), berdoalah kepada Allah untuk (kebaikan) pelayan kecilmu ini (Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).’” Anas berkata, “Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa (meminta kepada Allah) segala kebaikan untukku, dan doa kebaikan untukku yang terakhir beliau ucapkan, ‘Ya Allah, perbanyaklah harta dan keturunannya, serta berkahilah harta dan keturunan yang Engkau berikan kepadanya.’” Anas berkata, “Demi Allah, sungguh aku memiliki harta yang sangat banyak, dan sungguh anak dan cucuku saat ini (berjumlah) lebih dari seratus orang.” [Hadits shahih riwayat Al-Bukhari (no. 6018) dan Muslim (no. 2481); lafal ini yang terdapat dalam Shahih Muslim]
Hadits ini menunjukkan keutamaan memiliki banyak harta dan keturunan yang diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak melalaikan manusia dari ketaatan kepada-Nya [lihat: kitab Tafsir Al-Qurthubi: 11/80] karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin mendoakan keburukan untuk sahabatnya, dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu sendiri menyebutkan ini sebagai doa kebaikan. Oleh karena itulah, Imam An-Nawawi mencantumkan hadits ini dalam bab “Keutamaan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.” [Lihat: Syarah Shahih Muslim: 16/39--40]
4. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Orang-orang miskin (dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) pernah datang menemui beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang (kaya) yang memiliki harta yang berlimpah bisa mendapatkan pahala (dari harta mereka), kedudukan yang tinggi (di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala), dan kenikmatan yang abadi (di surga), karena mereka melaksanakan shalat seperti kami melaksanakan shalat dan mereka juga berpuasa seperti kami berpuasa, tetapi mereka memiliki kelebihan harta yang mereka gunakan untuk menunaikan ibadah haji, umrah, jihad, dan sedekah, sedangkan kami tidak memiliki harta.…” Dalam riwayat Imam Muslim, di akhir hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu adalah karunia (dari) Allah yang diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.” [Hadits shahih riwayat Al-Bukhari (no. 807 dan 5970) dan Muslim (no. 595)]
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari ucapan para sahabat tersebut tentang pahala dan keutamaan besar yang diraih oleh orang-orang kaya pemilik harta yang menginfakkannya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan di akhir hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji perbuatan mereka. Oleh karena itu, Imam Ibnu Hajar –ketika menjelaskan hadits ini– berkata, “Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) lebih utamanya orang kaya yang menunaikan hak-hak (Allah Subhanahu wa Ta’ala) pada (harta) kekayaannya dibandingkan orang miskin, karena berinfak di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits di atas) hanya bisa dilakukan oleh orang kaya.” [Kitab Fathul Bari: 3/298].
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim al-Buthoni, M.A.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar