Selasa, 22 Februari 2011

Pengusaha Muslim Sukses Dunia dan Akherat,Mungkinkah? (4)

Teladan sempurna dari ulama salaf

Para ulama salaf adalah sebaik-baik teladan dalam semua kebaikan dan keutamaan dalam agama ini, tidak terkecuali dalam memanfaatkan harta dan kekayaan untuk meraih ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antara para ulama salaf yang terkenal dengan sifat ini adalah:
Pertama, shahabat yang mulia, ‘Utsman bin ‘Affan bin Abil ‘Ash Al-Umawi radhiyallahu ‘anhu (wafat tahun 35 H), salah seorang dari Al-Khulafa Ar-Rasyidin dan sepuluh orang shahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau radhiyallahu ‘anhu sangat terkenal dengan kekayaan dan kedermawanan.

Beliaulah yang membeli sumur Rumah dari pemiliknya yang seorang Yahudi, untuk air minum bagi kaum muslimin, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan bagi beliau balasan air minum di surga kelak.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memperluas Mesjid Nabawi, ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu menyumbangkan hartanya untuk membeli tanah perluasan mesjid tersebut.
Beliau juga yang membiayai persiapan jihad pasukan Al-’Usrah dalam perang Tabuk, yaitu sebanyak 950 ekor unta dan 50 ekor kuda. Sehingga setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda berkali-kali, “Tidak akan merugikan ‘Utsman apa (pun) yang dilakukannya setelah hari ini.”[31],[32]
Kedua, shahabat yang mulia, ‘Abdurrahman bin ‘Auf Al-Qurasyi radhiyallahu ‘anhu (wafat tahun 32 H), salah seorang dari sepuluh shahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga merupakan shahabat yang sangat terkenal dengan kekayaan dan kedermawanan.
Imam Az-Zuhri berkata, “Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Abdurrahman bin ‘Auf pernah bersedekah dengan separuh dari harta beliau (yaitu sebesar) empat ribu dinar, lalu beliau bersedekah (lagi) dengan (harta sebesar) empat puluh ribu dinar. Kemudian beliau menanggung (biaya seharga) lima ratus ekor kuda (untuk keperluan berjihad) di jalan Allah. Setelah itu, beliau menanggung (biaya seharga) lima ratus ekor unta (untuk keperluan berjihad) di jalan Allah. Sebagian besar hasil kekayaan beliau (diperolehnya) dari (usaha) perniagan.[33]
Ketiga, ‘Ali bin Husein bin ‘Ali bin Abi Thalib Al-Hasyimi Al-Madani (wafat tahun 94 H),[34] putra dari cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkenal, Husein bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu dan Imam besar dari kalangan Tabi’in (murid para shahabat radhiyallahu ‘anhum), serta sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[35] Beliau sangat terkenal dengan ketekunan beribadah sehingga digelari sebagai zainul ‘abidin (perhiasan bagi para ahli ibadah).[36]
Termasuk amal ibadah agung yang sering beliau lakukan adalah banyak bersedekah untuk orang-orang miskin penduduk Madinah, sehingga sewaktu beliau wafat dan jenazah beliau dimandikan, terlihat di punggung beliau bekas-bekas berwarna hitam pada kulit beliau, karena semasa hidupnya beliau sering memikul karung berisi tepung (makanan) untuk disedekahkan kepada orang-orang miskin, di malam hari secara sembunyi-sembunyi.[37]
Bahkan, semasa hidupnya beliau menanggung biaya seratus keluarga miskin di Madinah. Sampai-sampai, orang menyangka beliau kikir dan suka menimbun harta, karena beliau selalu menyembunyikan sedekah beliau.[38]
Keempat, Yunus bin ‘Ubaid bin Dinar Al-Bashri (wafat tahun 139 H)[39], imam panutan yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta sangat wara’ (hati-hati dalam masalah halal dan haram).[40]
Beliau adalah seorang pedagang kain yang sangat jujur dan selalu menjelaskan cacat barang dagangan beliau sebelum terjadi jual beli[41]. Bahkan, karena kejujurannya, beliau pernah mengembalikan uang seorang pembeli yang membeli kain beliau dengan harga yang lebih tinggi, karena waktu itu yang menjualnya adalah keponakan beliau.[42] Bagitu pula sebaliknya, jika beliau membeli barang dari seseorang, maka beliau akan membayarnya dengan harga yang sesuai, meskipun orang tersebut pada awalnya menawarkannya dengan harga yang lebih murah.[43]
Diriwayatkan dalam biografi beliau, bahwa suatu saat harga kain di suatu daerah dekat Bashrah naik menjadi lebih mahal, yang mana sesuai kebiasaan, jika daerah tersebut harga kainnya naik maka harga kain di Bashrah pun nantinya ikut naik. Mengetahui hal itu, Yunus bin ‘Ubaid segera membeli sejumlah besar kain kepada pedagang kain lainnya dengan harga pasaran biasa. Setelah selesai membeli barang tersebut, beliau bertanya kepada penjual tersebut, “Apakah engkau mengetahui bahwa harga kain naik di daerah anu?” Penjual tersebut menjawab, “Tidak, kalau saja aku tau tentu aku tidak akan menjualnya kepadamu.” Maka Yunus bin ‘Ubaid berkata, “(Kalau begitu) kembalikan uangku padamu dan aku akan kembalikan barangmu.”[44]
Kelima, ‘Abdurrahman bin Aban bin ‘Utsman bin ‘Affan Al-Umawi Al-Madani, cucu shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, imam besar dari kalangan atba’ut tabi’in (murid para tabi’in), ahli ibadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[45]
Musa bin Muhammad At-Taimi memuji beliau dengan mengatakan, “Aku tidak pernah melihat (seorang lelaki) yang lebih banyak menghimpun agama, kerajaan (kekuasaan), dan kemuliaan (nasab) melebihi ‘Abdurrahman bin Aban.[46]
Beliau pernah membeli satu keluarga budak, kemudian memberikan pakaian untuk mereka semua, setelah itu beliau berkata kepada mereka, “Kalian (semua) aku bebaskan karena (mengharapkan) wajah Allah. Aku menjadikan kalian sebagai (salah satu sebab) penolongku (menghadapi dasyatnya) sakaratul maut.”[47]
Beliau sangat rajin beribadah, sehingga ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas mengagumi dan meneladani beliau dalam kebaikan.[48]
Keenam, Abdullah bin Al-Mubarak Al-Marwazi (wafat tahun 181 H)[49], imam besar yang ternama dari kalangan atba’ut tabi’in yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam Ibnu Hajar berkata, “Beliau adalah seorang yang terpercaya lagi sangat teliti (dalam meriwayatkan hadits), orang yang memiliki ilmu dan pemahaman (yang dalam), sangat dermawan lagi (sering) berjihad (di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala), terkumpul padanya (semua) sifat-sifat yang baik.”[50]
Dalam biografi beliau disebutkan bahwa Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh pernah bertanya kepadanya tentang sebab dia memliki perniagaan besar dengan mengekspor barang-barang dagangan dari negeri Khurasan ke “tanah haram” (Mekkah). Maka, Abdullah bin Al-Mubarak menjawab, “Sesungguhnya aku melakukan itu adalah untuk menjaga mukaku (agar tidak meminta-minta kepada orang lain), memuliakan kehormatanku, dan menggunakannya untuk membantuku dalam ketaatan kepada Allah.”[51]
Ucapan beliau ini benar-benar terbukti, karena beliau sangat terkenal dengan sifat dermawan, membantu orang miskin dengan sumbangan harta yang sangat besar setiap tahun,[52] serta membiayai semua perbekalan orang-orang yang menunaikan ibadah haji bersama beliau.[53]
Termasuk kedermawanan beliau yang paling utama adalah menanggung biaya hidup beberapa imam besar ahli hadits di zamannya, seperti Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh,[54] agar mereka bisa lebih berkonsentrasi menyebarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat. Beliau berkata, “Sesungguhnya aku mengetahui kemuliaan suatu kaum (para ulama ahli hadits) yang memiliki keutamaan dan kejujuran. Mereka (menyibukkan diri dengan) mempelajari hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar dan sungguh-sungguh. Kemudian (setelah itu) kebutuhan umat Islam kepada mereka sangat mendesak (untuk mengenal petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), sedangkan mereka sendiri punya kebutuhan (untuk membiayai kelurga mereka). Jika kami tidak membantu (menanggung biaya hidup) mereka maka ilmu mereka akan sia-sia (tidak tersebar dengan baik), tetapi kalau kami mencukupi (biaya hidup) mereka maka mereka (bisa lebih berkonsentrasi) menyebarkan ilmu kepada umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku tidak mengetahui -setelah kenabian-, tingkatan/kedudukan yang lebih utama daripada menyebarkan ilmu (tentang sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).”[55]



Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A

Tidak ada komentar:

Posting Komentar